Rangkuman Tatsqif #4 Tafsir Surat Al-Kafirun





Tafsir Surat Al-Kafirun
Pemateri : Ust. Erwin

“(1) Katakanlah: ‘Hai orang-orang kafir (2) Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah (3) Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah (4) Dan Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah (5) Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah. (6) Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.”

(QS. Al-Kafirun : 1-6)

Surat Al-Kafirun ini terdiri dari 6 ayat, urutan yang ke 109 didalam Al-Qur’an dan termasuk surat Makkiyah.  Inti dari surat ini adalah Al-farqu bainal mukmin wal kafir.  Asbabunnuzul surat ini, adalah kisah berikut:

Suatu hari, para pemuka-pemuka Quraisy musyrikin bermufakat hendak menemui Rasulullah. Mereka bermaksud hendak mencari, “damai”. Yang mendatangi Rasul itu menurut riwayat Ibnu Ishaq dari Said bin Mina – ialah Al-Walid bin Al-Mughirah, Al-Ash bin Wail, Al-Aswad bin Al-Muthalib dan Umaiyah bin Khalaf. Mereka kemukakan suatu penawaran:  “Ya Muhammad! Mari kita berdamai. Kami bersedia menyembah apa yang engkau sembah tetapi engkau pun hendaknya bersedia pula menyembah yang kami sembah, dan di dalam segala urusan di negeri kita ini, engkau turut serta bersama kami. Kalau seruan yang engkau bawa ini memang ada baiknya daripada apa yang ada pada kami, supaya turutlah kami merasakannya dengan engkau. Dan jika kami yang lebih benar daripada apa yang engkau serukan itu maka engkau pun telah bersama merasakannya dengan kami, sama mengambil bahagian padanya.” – Inilah usul yang mereka kemukakan.

Tafsir dan intisari Ayat:

1.       “Katakanlah: Hai orang-orang kafir”(1)

Dalam Tafsir Fi Dzilalil Qur’an disebutkan bahwa sebenarnya orang kafir itu adalah orang yang tidak beragama, tidak beriman, dan mereka tidak akan bertemu dengan jalan lurusnya Rasulullah SAW. Ayat ini jelas sebagai pemisah antara orang mukmin dan orang kafir.

2.       “Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah”(2)

Ayat ini mempunyai korelasi dengan ayat ke 4- “Dan Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah”. Intinya adalah ibadah orang beriman itu berbeda dengan ibadah orang kafir dan kita dilarang untuk mencampur-baurkan ibadah kita dengan mereka. Ibadah kita hanya ditujukan kepada Allah SWT. Dan sesembahan kita hanya Allah SWT semata. Inilah hakikat orang beriman.

3.       “Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah”(3)

Ayat ini mempunyai korelasi dengan ayat ke 5- “Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah” . Intinya, orang kafir tidak menyembah Allah SWT dan otomatis cara beribadahnya berbeda dengan orang mukmin. Inilah hakikat orang kafir.

4.       “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”(6)

Jelas ayat ini menjelaskan bahwa jalan orang mukmin dan orang kafir itu berbeda, terpisah. Maka karena itulah ayat dan surat  ini disebut sebagai surat yang menjelaskan  Al-farqu bainal mukmin wal kafir (Perbedaan antara orang Beriman dan orang Kafir).

Wallahu ‘alam

0 komentar:

Ramadhan, Syahrul Qur’an



Ramadhan itu akhirnya datang kembali. Besyukurlah kita sebagai hamba Allah yang masih diberi kesempatan oleh-Nya untuk dapat membersamai Ramadhan tahun ini dalam keadaan sehat, tenang dan damai. Adalah rugi rasanya jika Ramadhan tahun ini hanya terlewati dengan ibadah yang pas-pasan saja, tanpa ada peningkatan yang berarti didalamnya. So, pasang targetmu mulai dari sekarang! Jika Ramadhan itu adalah Syahrush Syiam, maka pastikan tak ada puasamu yang bolong-bolong lagi tahun ini. Jika ia adalah Syahrul Muwasa, maka pastikan setiap harimu selama Ramadhan selalu diisi dengan berbagi kepada sesama. Dan jika Ramadhan itu adalah Syahrul Qur’an, maka luangkan waktumu sedikit tuk membaca tulisan ini.


Ramadhan adalah bulan mulia yang padanya diturunkan Al-Qur’an. Karena itu, Ramadhan disebut pula dengan bulannya Al-Qur’an (Syahrul Qur’an). Momentum Ramadhan hendaknya menjadi kesempatan bagi umat Islam untuk memperbanyak amal ibadah, termasuk membaca dan mengamalkan A-Qur’an ini.


“Puasa dan Al-Qur’an akan memberikan syafaat kepada seorang hamba di hari kiamat. Puasa berkata, ”Wahai Tuhanku, aku telah menahannya dari makan dan syahwat, maka perkenankanlah aku memberikan syafaat kepadanya.” Sedangkan Alquran berkata, ”Aku telah mencegahnya dari tidur malam, maka perkenankanlah aku memberikan syafaat kepadanya.” (HR Ahmad dan Al-Hakim).

Hadits di atas menjelaskan kepada kita bahwa shaum (puasa) dan Al-Qur’an dapat memberikan syafaat. Puasa memberikan syafaat karena dapat membendung syahwat seorang hamba, sedangkan Al-Qur’an memberikan syafaat karena ia telah mencegah seorang hamba dari tidur malam untuk bercengkrama dengannya. Ramadhan seakan menjadi tempat untuk keduanya. Diwajibkan puasa satu bulan penuh sebagai madrasah untuk memperbaiki diri setelah sebelas bulan disibukkan oleh rutinitas dunia. Al-Qur’an adalah bacaan yang menjadi teman setia bagi orang-orang beriman di saat-saat menjalankan ibadah puasa itu. Karenanya, Ramadhan adalah Syahrul Qur’an, bulan diturunkannya Al-Qur’an untuk pertama kali. Allah SWT berfirman:


“Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil)...” (QS Al-Baqoroh:185)


Jika melihat sejarah salafus saleh dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an, akan didapati bahwa kita sangat jauh dibandingkan dengan mereka. Dalam sebuah riwayat disebutkan, Imam Abu Hanifah dalam hidupnya mampu mengkhatamkan Al-Qur’an sebanyak 6000 kali. Umar ibn Khathab mampu mengkhatamkan Al-Qur’an pada setiap malam, sampai-sampai putra beliau yang bernama Abdullah berkata:


“Ayahkulah yang menjadi sebab turunnya ayat Allah. Ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedangkan ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya?” Katakanlah, “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS Az-Zumar: 9)


Sementara itu, Usman ibn Affan mampu mengkhatamkan Al-Qur’an setiap harinya. Imam Syafii mengkhatamkan Al-Qur’an selama Ramadhan sebanyak 60 kali. Imam Qatadah mengkhatamkan Al-Qur’an setiap 7 malam pada hari biasa dan setiap 3 malam pada bulan Ramadhan, sedangkan pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan beliau mengkhatamkan Al-Qur’an setiap malam. Dan Imam Ahmad mengkhatamkan Al-Qur’an setiap pekannya.


Itulah gambaran hidup para salafus saleh yang begitu luar biasa, hari-hari mereka tak pernah lepas dari Al-Qur’an. Semoga kita mampu mencontoh apa yang telah mereka lakukan, yakni dengan menjadikan Ramadhan sebagai Syahrul Qur’an.


Pasang targetmu sahabat! siapkan segala sumber daya yang dibutuhkan. Jangan biarkan dirimu menjadi orang yang rugi ketika Ramadhan itu sudah berlalu, tetapi jadilah orang yang benar-benar mendapat predikat “taqwa” di akhirnya nanti. Allahumma Aamiin


“Hai orang-orang yang beriman! diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa,” (QS Al-Baqoroh:183)

0 komentar:

Rangkuman Tatsqif #3


Hadits ke-37 "Keadilan dan Karunia Allah"
(Pemateri : Ust. Urwatul Wutsqo, Lc)

Keadilan dan Karunia Allah

“Ibnu ‘Abbas ra. berkata, Rasulullah bersabda meriwayatkan firman Allah, “Sesungguhnya Allah mencatat amal baik dan buruk. Kemudian Dia menjelaskan, “Barangsiapa yang ingin melakukan kebaikan tetapi belum melakukannya, maka Allah mencatatnya sebagai satu kebaikan penuh. Dan jika ia benar-benar melakukannya, maka Allah mencatatnya sebagai sepuluh kebaikan, bahkan hingga tujuh ratus kali lipat atau lebih. Sedangkan orang yang ingin melakukan keburukan tapi tidak jadi melakukannya, maka Allah mencatatnya sebagai satu kebaikan penuh. Jika ia melakukan keburukan itu, maka Allah mencatatnya sebagai satu keburukan saja.” (HR Bukhari-Muslim)

Urgensi hadits

Ini adalah hadits qudsi yang memuat kabar gembira dan harapan yang besar terhadap karunia dan rahmat Allah yang Maha Luas. Hadits ini memberikan harapan dan dorongan untuk kerja keras dengan terus melakukan muroqobah kepada Allah.

Kandungan Hadits

1.       Perbuatan Baik

Niat baik saja sudah dinilai sebagai suatu kebaikan oleh Allah. Jika niat itu terealisasikan maka Allah akan mencatatnya sebagai suatu kebaikan penuh, hingga mencapai 10 kali lipat (Al-An’am : 160). Tidak hanya sampai disitu, bahkan Allah akan melipat gandakannya hingga 700 kali lipat (Al-Baqoroh : 261), atau lebih daipada itu (untuk puasa Ramadhan)

2.       Perbuatan Buruk

Semua perbuatan buruk yang dilakukan seseorang, akan ditulis apa adanya (satu keburukan) dan tidak dilipatgandakan (Al-An’am : 160)

3.       Bertekad untuk melakukan kebaikan

Tekad yang dimaksud disini adalah keinginan dan berusaha untuk merealisasikannya. Karena niat baik saja, itu sudah dicatat sebagai suatu kebaikan. Ber fastabiqul khairat dengan sahabat-sahabat yang lain itu juga penting, agar iklim kompetisi dalam kebaikan itu tetap terjaga.

4.       Istiqomah dalam Kebaikan

Seorang mukmin mesti istiqomah dalam setiap kebaikannya, karena Allah menilai di akhir, bukan diawal. Apakah Husnul Khotimah atau justru Su’ul Khotimah. Maka perlu saling membantu dan saling menopang diantara sesama saudara seiman

5.       Saling Memberi Nasehat

Karena hati yang telah dipenuhi iman, akan mudah tersentuh oleh nasehat-nasehat yang datang kepadanya. Ingat mengingatkan dalam kebaikan, dan cegah-mencegah dari maksiat kepadaNya

6.       Allah Ingin Semua Mukmin Masuk Surga

Dihitungnya niat kebaikan kita dengan 1 pahala, lalu jika dikerjakan bisa sampai 700 kali lipat. Sementara itu, niat dosa kita tidak dihitung, tapi jika dikerjakan hanya dihitung sebagai satu keburukan. Secara logika sederhana, jelas terbukti bahwa Allah ingin hamba-hambaNya itu masuk surga semuanya

7.      Sesungguhnya rahmat Allah terhadap hambaNya sangatlah luas, pun demikian dengan pengampinanNya yang mencakup segala dosa, dan pemberianNya tidak ada habisnya

8.     Ikhlas dalam ketaatan dan dalam rangka meninggalkan maksiat adalah kunci untuk mendapatkan pahala. Semakin tinggi ikhlas, semakin bertambah pahala.

Wallahu ‘alam....

0 komentar:

Rangkuman Tatsqif #2 “Beriman kepada kewajiban mencintai sahabat-sahabat Rasulullah SAW”







“Beriman kepada kewajiban mencintai sahabat-sahabat Rasulullah SAW”
(Pemateri : Ust. Fadlan Mustiqa, Lc)

Sahabat ialah mereka yang sempat bertemu, menyaksikan ataupun mendengar (bagi orang buta) Rasulullah SAW dalam keadaan Islam, dan merekapun dalam keadaan Islam sampai wafat mereka.

Orang muslim beriman kepada kewajiban mencintai sahabat-sahabat Rasulullah, keluarga beliau, keutamaan mereka atas kaum mukminin dan kaum muslimin yang lain, bahwa keutamaan mereka berbeda antara satu dengan yang lainnya, dan bahwa ketinggian derajat mereka ditentukan oleh siapa diantara mereka yang paling dahulu masuk Islam.

Berdasarka urutannya, sahabat-sahabat Rasulullah yang paling utama ialah

Khulafaur Rasyidin, yaitu:

1.       Abu Bakar Ash-shiddiq

2.       Umar ibn Al-Khattab

3.       Utsman ibn Affan

4.       Alin ibn Abi Thalib

Kemudian disusul oleh Assabiqunal Awwalun, yaitu:

1.       Khulafaur Rasyidin

2.       Thalhah ibn Ubaidillah

3.       Az-zubair ibn Al-awwam

4.       Sa’ad ibn Abu Waqqash

5.       Sa’id ibn Zaid

6.       Abu Ubaidah Amir ibn Al-jarrah

7.       Abdurrahman ibn Auf

Kemudian disusul para sahabat yang ikut Perang Badar, kemudian disusul orang-orang yang dijamin masuk surga selain  Assabiqunal Awwalun diatas, misalnya Fatimah Az-zahra’, Hasan ibn Ali, Husain ibn Ali, Tsabit ibn Qais, Bilal ibn Rabah, dll. Kemudian disusul para sahabat yang ikut menghadiri Baiat Ar-Ridhwan yang berjumlah 1400 sahabat Radhiyallahu Anhum.

Terhadap sahabat-sahabat Rasulullah SAW dan keluarga beliau, maka orang Muslim:

1.       Mencintai mereka, karena kecintaan Allah & Rasul kepada mereka (Al-Maidah:54)

2.       Beriman kepada keutamaan mereka atas kaum Mukminin dan Muslimin yang lain

3.       Berpendapat bahwa Abu Bakar adalah sahabat yang paling utama, disusul Umar, Utsman dan Ali

4.       Mengakui kelebihan-kelebihan mereka

5.    Menahan diri dari mengungkap keburukan mereka dan tidak berkomentar tentang persengketaan yang terjadi pada mereka

6.   Beriman kepada kehormatan istri-istri Rasulullah SAW, bahwa mereka wanita-wanita suci bersih, mencari keridhaan mereka, dan berpendapat bahwa istri-istri beliau yang termulia ialah Khadijah binti Khuwailid, dan Aisyah binti Abu Bakar (Al-Ahzab:6)

0 komentar:

Kata Sambutan Kepala DKM FSKI Generasi Kaffah FK Unand

Sambutan Kepala Departemen Kemakmuran Masjid (DKM)

FSKI Generasi Kaffah 2015/2016

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas




Assalammu’alaikum Wr. Wb

                Hanya kepada Allah kami percaya dan memohon perlindungan.

               Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Kita bersaksi  tiada Tuhan yang patut disembah, selain Allah semata. Tiada sekutu bagi-Nya. Kita juga bersaksi, Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.

Wa ba’du.

                Alhamdulillah atas segala bimbingan dan petunjuk, karunia, nikmat dan kebaikan  yang telah Allah berikan kepada kita, sehingga kita bisa sempat bergabung  dan tergabung dalam barisan panjang dakwah yang menyejarah ini. Karena sungguh, adanya kita disini oleh sebab-Nya. Maka bersyukurlah! Dia lah Allah Yang Maha Pengasih dengan kasih-Nya yang tak pilih kasih. Dia lah Allah Yang Maha Penyayang, yang sayang-Nya tak tersebut, tak berbilang.

                Shalawat dan salam atas panutan umat sepanjang zaman, Rasulullah Muhammad SAW. Yang mana mencontoh dan meneladaninya dalam seluruh aspek kehidupan merupakan wujud konkret dari ittiba’ dengan sunnah-sunnahnya. Moga kesungguhan kita untuk mengamalkan sunnah dan meniru jalan dakwahnya berbuah syafaat di hari Kiamat kelak. Aamiin

                Surga takkan pernah dapat diraih hanya dengan mengandalkan pahala dari ibadah siang malam yang kita lakukan. Karena sungguh, surga hanya dapat diraih apabila ada Ridho dan Rahmat dari-Nya. Dan salah satu cara meraih Ridho dan Rahmat-Nya itu adalah dengan melaksanakan ibadah dengan ikhlas. Tak cukup hanya ibadah dengan ikhlas untuk diri sendiri, tapi juga seru dan libatkan orang lain agar dapat beribadah dengan ikhlas juga. Karena kita adalah satu jama’ah, umat Rasul yang mulia. Kita melangkah dalam ayunan tangan dan kaki yang sama, saling ingat-mengingatkan tentang kebaikan, dan tentu cegah-mencegah dalam kemaksiatan. Apa tujuannya? Agar kelak kita bisa membuat Rasulullah tersenyum bahagia dan bangga, melihat kita, ummatnya yang senantiasa berfastabikul khairat ini.

                Tergabungnya kita disini, di FSKI ini, adalah salah satu cara kita untuk mewujudkan itu semua. Dan tentu, untuk kembali sama-sama menggalakkan gelora dan semangat dakwah Rasul dan sahabat terdahulu. Memang, kita bukanlah seperti mereka yang ketahanan imannya kokoh bagai baja, terlebih lagi kita juga bukanlah malaikat, yang sudah pasti takkan pernah durhaka dan maksiat  kepada-Nya. Tetapi adanya kita disini adalah sarana bagi kita untuk mengingatkan diri kita sendiri dengan jalan mengingatkan orang lain. Karena tentu, jika kita telah mengingatkan orang lain akan kebaikan, maka sudah pasti ada beban tanggung jawab bagi kita untuk melakukannya juga. Praktis, kita dapat pahala dari ibadah kita, plus pahala jariyah dari orang yang kita ingatkan tadi. Ibarat kata pepatah, sekali dayuh, dua tiga pulau terlampaui. Sungguh, inilah dia yang kita sebut sebagai “bisnis yang tak pernah rugi ” itu.

                Maka dari itu, mari kita manfaatkan kebaikan Allah yang Maha Baik ini dengan menjalankan segala sunnah dan tuntunan-tuntunan Rasul-Nya agar kita menjadi manusia yang baik. Yang berhak mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat. Kebaikan yang tiada terkira saat kita diwafatkan oleh malaikat dalam keadaan baik, sehingga mendapat sambutan dengan sapaan yang mulia, “Salaamun alaykum. Kamu telah menjadi orang-orang baik. Maka masuklah kedalam surga ini, sedang kamu kekal di dalamnya.” (Az-Zumar : 73)

Wallahu ‘alam

Baarakallahu li wa lakum

Assalammu’alaikum Wr. Wb

Muhammad Tohib Habib

              

                               

0 komentar: