RINGKASAN TATSQIF #9


AQIDAH
Ust. Fadlan Mustiqa, Lc

MATERI
·    Aqidah, sacara bahasa berasal dari kata  ‘Aqada (dia telah mengikat), Ya'qidu (dia sedang mengikat),  ‘Aqidatan (ikatan)
·    Aqidah secara Istilah adalah keyakinan tentang usul2 (pokok2)  agama Islam
·    Islam diturunkan melalui perantara Jibril as (malaikat yg pling kuat, pemimpin para malaikat,  punya 600 sayap) kepada Muhammad
·    Dalam hal sholat, smua hal yg ada contohnya (ada dalil dan dicontohkan Rasul) di bolehkan
·    Islam itu satu, tdk ada pengkotak-kotakan
·    Islam sumber nya Al-Quran (ada 7 qiraat, 14 riwayat shohih, 3hasan, 4 dhoif) & Sunnah Rasulullah
·    Islam itu pembahasanya tiga, 1. Al-aqidah 2. Asy-syariah 3. Al-akhlaq
·    Al-aqidah ada 6 nama atau istilah yg dipakai
1.    Al-aqidah (itu sendiri)
2.    Ushulluddin (pokok2 agama)
3.    As-Sunnah
4.    Al-Fiqhul Akbar (Hukum yg besar)
5.    At-Tauhid
6.    Ilmu Kalam, penamaan ini dipakai oleh ulama2 Asy-syaira
·    Aqidah, ujung2nya benar atau sesat
·    Asy-syariah, ujungnya pahala atau dosa
·    Al-akhlaq, ujung2nya al-karimah (terpuji) & al-mazmumah (tercela)
·     Takfir (mengatakan orang muslim kafir) tidak boleh, karena hal itu justru berbalik kepada sang pengucapnya
·    Al-Aqidah (berdasarkan Hadits kedua dlm Arbain An-Nawawi) pembahasannya dibagi secara sederhana menjadi (Rukun Iman):
1.    Iman kepada Allah
2.    Iman kepada malaikat
3.    Iman kepada kitab2 Allah
4.    Iman kepada Nabi dan Rasul
5.    Iman kepada hari kiamat
6.    Iman kepada qada & qadar
·    Oleh sebagian ulama, 6 hal sederhana diatas dikelompokkan menjadi 3
1.    Ilahiyat (ketuhanan), Rukun Iman pertama
2.    An-Nubuwat (kenabian), Rukun Iman ke 3 & 4
3.    As-Sam’iyat / Al-Ghaibiyat (hanya bisa didengar atau hal ghaib), Rukun Iman 2, 5, & 6
·    Ijtihad tidak boleh dijatuhkan dengan ijtihad lain, sebab pendapat bukan digunakan untuk saling serang

DISKUSI
·    Kadang ada hikmah adanya segolongan orang yg berpacaran, karena orang yg tidak ingin berpacaran terhindar dari orang2 yg ingin berpacaran. Terlindungi dari maksiat
·    Janji Allah itu pasti, bahwa “Yang baik, hanya untuk yang baik pula.......” (An-Nur:36)
·    Ketika orang bermaksiat, maka ketika itu berkuranglah imannya. Sedangkan pendapat orang Khawarij (sesat) yg salah,  mengatakan bahwa maksiat menghabiskan iman
·    Hati-hati dengan lirik-lirik lagu tentang cinta, co, “hidup matiku hanya untukmu,.....“  dsb. Karena bisa tergolong kepada syirik
·    Islam tidak mengajarkan benci kepada para pemaksiat, tapi bencilah kepada maksiatnya
·    Ghibah adalah mengatakan kebenaran yg tdk disukai, bisa sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan
·    Rasulullah membaca Al-Ma’tsurat setelah sholat shubuhnya (dengan tidak beranjak dari tempat sholatnya) dan sebelum/setelah sholat maghribnya
·    Dalam beribadah, ada kaidah yang mengatakan “Jika tidak mampu mengambil semuanya, maka jangan tinggalkan semuanya”
·    Hukum ber Nazar? Ada yang mengatakan mubah, ada yang mengatakan makruh.
·    Pilihan bijak adalah bertawasul dengan ibadah kita. Dan menjauhi ber-nazar
·    Wahabi =dinisbatkan kepada pengikut Abdul Wahab ; Aswaja= dinisbatkan kepada pengikut Imam Abul Hasan Al-Asyari. Namun banyak  yang sekarang menyalah artian sebutan itu
·    Setiap orang muslim (yang telah bersyahadat) pasti masuk surga. Yang mesti kita fikirkan adalah bagaiman caranya agar “tak singgah” dahulu dineraka
Wallahu a’lam

Rangkuman Tatsqif #6 Bernostalgia dengan Al-Qur’an

 Bernostalgia dengan Al-Qur’an

Pemateri : Ust. Sigit
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus: 57)

Pada ayat diatas, paling tidak kita mendapati 4 poin utama yang terkandung didalamnya.

1.    Al-Qur’an sebagai Mauizhoh (pelajaran), maksudnya adalah Al-Qur’an itu berisi perintah untuk menaati kebenaran dan mengerjakan kebajikan serta menjauhi keburukan dan kebatilan (dalam bentuk kalimat targhib[motivasi] dan tarhib[ancaman])
2.      Al-Qur’an sebagai Syifa’ (penyembuh), maksudnya adalah Al-Qur’an juga merupakan obat mujarab untuk penyakit yang bersarang di dada (keyakinan yang rusak dan keraguan) serta juga merupakan penyembuh dalam arti digunakan sebagai terapi dalam penyembuhan penyakit (sesuai dengan tuntunan sunnah.
3.    Al-Qur’an sebagai Huda (petunjuk), maksudnya adalah Al-Qur’an itu mengarahkan pada jalan kebenaran yang lurus, menuntun kepada hal yang mengantarkan surga, menjauhkan dari jalan kesesatan yang sebabkan neraka. Petunjuk/hidayah, yang hanya diberikanNya kepada sesiapa yang dikehendakiNya
4.      Al-Qur’an sebagai Rahmat, maksudnya adalah kandungan Al-Qur’an itulah yang menyebabkan manusia mendapat rahmat, seperti menganjurkan untuk senantiasa taat, mengingatkan akan siksa akhirat, dan memotivasi untuk mendapatkan kenikmatan yang abadi di surga. Sehingga, rahmat itu akan membuahkan kebaikan dan kelemahlembutan bagi kaum mukminin.
Maka dari itu, marilah sahabat kita bersamai Al-Qur’an dengan 5M

1.    Mempelajarinya tak kenal henti
2.    Membacanya terus-menerus
3.     Mengerti maknanya
4.     Mengamalkannya
5.     Mendakwahkannya (mengajarkannya)
Moga dengan 5M diatas, Allah ridho tuk bahagiakan kita di dunia dan karuniakan surgaNya, kelak di kampung akhirat. Aamiin.....

Wallahu’alam


Sholat Shubuh lah, Agar engkau tak dituding Munafik



Salah satu perkara penting yang saat ini diremehkan pelaksanaannya oleh umat Islam kekinian adalah sholat Shubuh berjamaah di masjid. Sungguh, sejarah telah mencatat adanya ketimpangan ‘semangat beribadah’ yang demikian kontras antara umat Islam masa kini dengan generasi Islam masa lalu.

Kita dapat mengambil beberapa contoh sebagai pembenaran atas pernyataan diatas. Adalah Imam Malik dalam  Al-Muwatha’ nya mengisahkan bahwa suatu malam  Amirul Mukminin Umar ibn Khatab terkena tikaman pedang mematikan. Beliau mengerang kesakitan akibat luka parah yang dialaminya tersebut. Namun, ketika waktu Shubuh menjelang iapun dibangunkan untuk menunaikan sholat, seakan tidak merasa sakit sedikitpun Umar ibn Khatab bangkit dan menyegerakan langkahnya untuk sholat berjamaah di masjid. Padahal ketika itu luka beliau masih saja mengeluarkan darah, tetapi rasa sakit itu seakan sirna akibat semangat beliau yang tinggi untuk menunaikan sholat Shubuh berjamaah di masjid. MasyaAllah!

Lihatlah pula semangat beribadah yang ditunjukkan oleh Yahya ibn ‘Abdurrahman Mahdi. Seperti yang dikisahkan oleh ayahnya, bahwa suatu malam anaknya itu menghidupkan malamnya dengan Tahajjud dan ibadah lainnya. Takkala menjelang fajar, iapun merebahkan dirinya diatas kasur sejenak, namun ternyata Yahya ibn ‘Abdurrahman Mahdi ini pun tertidur hingga terbitnya matahari. Iapun tidak dapat mengerjakan sholat Shubuh berjamaah di masjid. Ia sungguh menyesal. Maka sejak saat itu, ia pun menjadikan dirinya tidak berjarak sedikitpun dengan tanah selama dua bulan, hingga kedua pahanya ditumbuhi bisul. MasyaAllah!

Sekarang, lihatlah keadaan kita, kaum muslimin di zaman ini. Tak ada sakit, tak ada kelelahan akibat lamanya Tahajjud, praktis tak ada hal-hal berat yang dapat menjadi alasan bagi kita untuk tidak menunaikan sholat Shubuh berjamaah di masjid. Namun, kenyataannya sekarang banyak diantara kita yang masih merasa berat dan sulit bangun untuk menunaikan sholat Shubuh berjamaah di masjid. Atau bahkan justru berani meninggalkannya. Indikasi apakah ini? Inilah indikasi gamblang dari rapuhnya keimanan umat dan beraninya kita meremehkan perintah Allah SWT. Pun demikian juga mengindikasikan bahwa hati kita telah keras (qaswatul qalbi).  

‘Abdullah ibn Mas’ud pernah mengatakan, “Sungguh celaka orang yang tidak memiliki hati yang bisa digunakannya untuk mengenali yang makruf dan menolak yang mungkar”

Sholat Terberat Bagi Orang Munafik

            Adalah Rasulullah seperti yang dikutip dalam  Al-Muwatha’ nya Imam Malik, bersabda “Pembatas antara kita dengan orang-orang munafik adalah menghadiri sholat Isya’ dan Shubuh, sebab orang-orang munafik tidak sanggup menghadiri kedua sholat tersebut” pun demikian dalam Al-Musnad nya Imam Ahmad, Rasulullah bersabda “Sholat terberat bagi orang-orang munafik adalah sholat Isya’ dan Shubuh. Padahal seandainya mereka mengetahui pahala yang ada didalam kedua sholat tersebut, tentu mereka akan mendatanginya walaupun harus merangkak”

            Kita patut mengkritisi diri, tatkala kita masih merasa berat bangun menunaikan  sholat Shubuh di masjid, maka kita mesti ‘menggugat’ diri kita, “Apakah aku termasuk orang munafik, ataukah dalam diri ini terdapat benih-benih kemunafikan?” Renungkanlah!

            Memang, tak bijaksana rasanya jika kita secara serampangan dan begitu mudah ‘menuding’ saudara kita yang tidak pernah menunaikan sholat Shubuh secara berjamaah dimasjid sebagai orang munafik. Namun, ketika tudingan  itu kita tujukan kepada diri kita sendiri, maka tentu ini akan menjadi hal yang positif. Karena menuding, menggugat,  dan mengkritisi diri sendiri (dalam batas yang sewajarnya) adalah bentuk dari muhasabah kita. Malik ibn Dinar pernah berkata “Semoga Allah merahmati seseorang yang berkata kepada dirinya sendiri, ‘Bukankah kamu yang melakukan perbuatan ini? Bukankah kamu pelakunya?’, Lalu ia mencela dan berusaha menaklukkan dirinya, kemudian ia ‘berguru’ kepada Kitabullah (Al-Qur’an), sehingga ia menjadi pemimpin dirinya”

            Kita berlindung kepada Allah dari sifat kemunafikan yang telah membuat pelakunya akan binasa dalam kerak neraka. Kita pun juga berlindung kepada Allah dari sifat malas dan ingin senang yang membuat pelakunya kan kehilangan kehidupan akhiratnya.

            Maka dari itu, mari kita buktikan sahabat jika kita bukanlah orang munafik. Bagaimana caranya? Mulai besok pagi, kibaskan rasa kantuk yang menjerat, lemparkan rasa malas yang membelenggu, bangunlah, berwudhu’lah, lalu ayunkan kaki dan tanganmu dengan pasti menuju ke masjid. Bergabunglah dengan barisan kaum muslimin dalam sholat Shubuh mereka. Lakukanlah itu sebagai kebiasaanmu yang mengkristal dalam dirimu. Agar kemudian engkau dapat bersuara lantang bahwa “ AKU BUKAN ORANG MUNAFIK”. Wallahu’alam  (mth)

Rangkuman Tatsqif #4 Tafsir Surat Al-Kafirun





Tafsir Surat Al-Kafirun
Pemateri : Ust. Erwin

“(1) Katakanlah: ‘Hai orang-orang kafir (2) Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah (3) Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah (4) Dan Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah (5) Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah. (6) Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.”

(QS. Al-Kafirun : 1-6)

Surat Al-Kafirun ini terdiri dari 6 ayat, urutan yang ke 109 didalam Al-Qur’an dan termasuk surat Makkiyah.  Inti dari surat ini adalah Al-farqu bainal mukmin wal kafir.  Asbabunnuzul surat ini, adalah kisah berikut:

Suatu hari, para pemuka-pemuka Quraisy musyrikin bermufakat hendak menemui Rasulullah. Mereka bermaksud hendak mencari, “damai”. Yang mendatangi Rasul itu menurut riwayat Ibnu Ishaq dari Said bin Mina – ialah Al-Walid bin Al-Mughirah, Al-Ash bin Wail, Al-Aswad bin Al-Muthalib dan Umaiyah bin Khalaf. Mereka kemukakan suatu penawaran:  “Ya Muhammad! Mari kita berdamai. Kami bersedia menyembah apa yang engkau sembah tetapi engkau pun hendaknya bersedia pula menyembah yang kami sembah, dan di dalam segala urusan di negeri kita ini, engkau turut serta bersama kami. Kalau seruan yang engkau bawa ini memang ada baiknya daripada apa yang ada pada kami, supaya turutlah kami merasakannya dengan engkau. Dan jika kami yang lebih benar daripada apa yang engkau serukan itu maka engkau pun telah bersama merasakannya dengan kami, sama mengambil bahagian padanya.” – Inilah usul yang mereka kemukakan.

Tafsir dan intisari Ayat:

1.       “Katakanlah: Hai orang-orang kafir”(1)

Dalam Tafsir Fi Dzilalil Qur’an disebutkan bahwa sebenarnya orang kafir itu adalah orang yang tidak beragama, tidak beriman, dan mereka tidak akan bertemu dengan jalan lurusnya Rasulullah SAW. Ayat ini jelas sebagai pemisah antara orang mukmin dan orang kafir.

2.       “Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah”(2)

Ayat ini mempunyai korelasi dengan ayat ke 4- “Dan Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah”. Intinya adalah ibadah orang beriman itu berbeda dengan ibadah orang kafir dan kita dilarang untuk mencampur-baurkan ibadah kita dengan mereka. Ibadah kita hanya ditujukan kepada Allah SWT. Dan sesembahan kita hanya Allah SWT semata. Inilah hakikat orang beriman.

3.       “Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah”(3)

Ayat ini mempunyai korelasi dengan ayat ke 5- “Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah” . Intinya, orang kafir tidak menyembah Allah SWT dan otomatis cara beribadahnya berbeda dengan orang mukmin. Inilah hakikat orang kafir.

4.       “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”(6)

Jelas ayat ini menjelaskan bahwa jalan orang mukmin dan orang kafir itu berbeda, terpisah. Maka karena itulah ayat dan surat  ini disebut sebagai surat yang menjelaskan  Al-farqu bainal mukmin wal kafir (Perbedaan antara orang Beriman dan orang Kafir).

Wallahu ‘alam

Ramadhan, Syahrul Qur’an



Ramadhan itu akhirnya datang kembali. Besyukurlah kita sebagai hamba Allah yang masih diberi kesempatan oleh-Nya untuk dapat membersamai Ramadhan tahun ini dalam keadaan sehat, tenang dan damai. Adalah rugi rasanya jika Ramadhan tahun ini hanya terlewati dengan ibadah yang pas-pasan saja, tanpa ada peningkatan yang berarti didalamnya. So, pasang targetmu mulai dari sekarang! Jika Ramadhan itu adalah Syahrush Syiam, maka pastikan tak ada puasamu yang bolong-bolong lagi tahun ini. Jika ia adalah Syahrul Muwasa, maka pastikan setiap harimu selama Ramadhan selalu diisi dengan berbagi kepada sesama. Dan jika Ramadhan itu adalah Syahrul Qur’an, maka luangkan waktumu sedikit tuk membaca tulisan ini.


Ramadhan adalah bulan mulia yang padanya diturunkan Al-Qur’an. Karena itu, Ramadhan disebut pula dengan bulannya Al-Qur’an (Syahrul Qur’an). Momentum Ramadhan hendaknya menjadi kesempatan bagi umat Islam untuk memperbanyak amal ibadah, termasuk membaca dan mengamalkan A-Qur’an ini.


“Puasa dan Al-Qur’an akan memberikan syafaat kepada seorang hamba di hari kiamat. Puasa berkata, ”Wahai Tuhanku, aku telah menahannya dari makan dan syahwat, maka perkenankanlah aku memberikan syafaat kepadanya.” Sedangkan Alquran berkata, ”Aku telah mencegahnya dari tidur malam, maka perkenankanlah aku memberikan syafaat kepadanya.” (HR Ahmad dan Al-Hakim).

Hadits di atas menjelaskan kepada kita bahwa shaum (puasa) dan Al-Qur’an dapat memberikan syafaat. Puasa memberikan syafaat karena dapat membendung syahwat seorang hamba, sedangkan Al-Qur’an memberikan syafaat karena ia telah mencegah seorang hamba dari tidur malam untuk bercengkrama dengannya. Ramadhan seakan menjadi tempat untuk keduanya. Diwajibkan puasa satu bulan penuh sebagai madrasah untuk memperbaiki diri setelah sebelas bulan disibukkan oleh rutinitas dunia. Al-Qur’an adalah bacaan yang menjadi teman setia bagi orang-orang beriman di saat-saat menjalankan ibadah puasa itu. Karenanya, Ramadhan adalah Syahrul Qur’an, bulan diturunkannya Al-Qur’an untuk pertama kali. Allah SWT berfirman:


“Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil)...” (QS Al-Baqoroh:185)


Jika melihat sejarah salafus saleh dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an, akan didapati bahwa kita sangat jauh dibandingkan dengan mereka. Dalam sebuah riwayat disebutkan, Imam Abu Hanifah dalam hidupnya mampu mengkhatamkan Al-Qur’an sebanyak 6000 kali. Umar ibn Khathab mampu mengkhatamkan Al-Qur’an pada setiap malam, sampai-sampai putra beliau yang bernama Abdullah berkata:


“Ayahkulah yang menjadi sebab turunnya ayat Allah. Ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedangkan ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya?” Katakanlah, “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS Az-Zumar: 9)


Sementara itu, Usman ibn Affan mampu mengkhatamkan Al-Qur’an setiap harinya. Imam Syafii mengkhatamkan Al-Qur’an selama Ramadhan sebanyak 60 kali. Imam Qatadah mengkhatamkan Al-Qur’an setiap 7 malam pada hari biasa dan setiap 3 malam pada bulan Ramadhan, sedangkan pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan beliau mengkhatamkan Al-Qur’an setiap malam. Dan Imam Ahmad mengkhatamkan Al-Qur’an setiap pekannya.


Itulah gambaran hidup para salafus saleh yang begitu luar biasa, hari-hari mereka tak pernah lepas dari Al-Qur’an. Semoga kita mampu mencontoh apa yang telah mereka lakukan, yakni dengan menjadikan Ramadhan sebagai Syahrul Qur’an.


Pasang targetmu sahabat! siapkan segala sumber daya yang dibutuhkan. Jangan biarkan dirimu menjadi orang yang rugi ketika Ramadhan itu sudah berlalu, tetapi jadilah orang yang benar-benar mendapat predikat “taqwa” di akhirnya nanti. Allahumma Aamiin


“Hai orang-orang yang beriman! diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa,” (QS Al-Baqoroh:183)

Rangkuman Tatsqif #3


Hadits ke-37 "Keadilan dan Karunia Allah"
(Pemateri : Ust. Urwatul Wutsqo, Lc)

Keadilan dan Karunia Allah

“Ibnu ‘Abbas ra. berkata, Rasulullah bersabda meriwayatkan firman Allah, “Sesungguhnya Allah mencatat amal baik dan buruk. Kemudian Dia menjelaskan, “Barangsiapa yang ingin melakukan kebaikan tetapi belum melakukannya, maka Allah mencatatnya sebagai satu kebaikan penuh. Dan jika ia benar-benar melakukannya, maka Allah mencatatnya sebagai sepuluh kebaikan, bahkan hingga tujuh ratus kali lipat atau lebih. Sedangkan orang yang ingin melakukan keburukan tapi tidak jadi melakukannya, maka Allah mencatatnya sebagai satu kebaikan penuh. Jika ia melakukan keburukan itu, maka Allah mencatatnya sebagai satu keburukan saja.” (HR Bukhari-Muslim)

Urgensi hadits

Ini adalah hadits qudsi yang memuat kabar gembira dan harapan yang besar terhadap karunia dan rahmat Allah yang Maha Luas. Hadits ini memberikan harapan dan dorongan untuk kerja keras dengan terus melakukan muroqobah kepada Allah.

Kandungan Hadits

1.       Perbuatan Baik

Niat baik saja sudah dinilai sebagai suatu kebaikan oleh Allah. Jika niat itu terealisasikan maka Allah akan mencatatnya sebagai suatu kebaikan penuh, hingga mencapai 10 kali lipat (Al-An’am : 160). Tidak hanya sampai disitu, bahkan Allah akan melipat gandakannya hingga 700 kali lipat (Al-Baqoroh : 261), atau lebih daipada itu (untuk puasa Ramadhan)

2.       Perbuatan Buruk

Semua perbuatan buruk yang dilakukan seseorang, akan ditulis apa adanya (satu keburukan) dan tidak dilipatgandakan (Al-An’am : 160)

3.       Bertekad untuk melakukan kebaikan

Tekad yang dimaksud disini adalah keinginan dan berusaha untuk merealisasikannya. Karena niat baik saja, itu sudah dicatat sebagai suatu kebaikan. Ber fastabiqul khairat dengan sahabat-sahabat yang lain itu juga penting, agar iklim kompetisi dalam kebaikan itu tetap terjaga.

4.       Istiqomah dalam Kebaikan

Seorang mukmin mesti istiqomah dalam setiap kebaikannya, karena Allah menilai di akhir, bukan diawal. Apakah Husnul Khotimah atau justru Su’ul Khotimah. Maka perlu saling membantu dan saling menopang diantara sesama saudara seiman

5.       Saling Memberi Nasehat

Karena hati yang telah dipenuhi iman, akan mudah tersentuh oleh nasehat-nasehat yang datang kepadanya. Ingat mengingatkan dalam kebaikan, dan cegah-mencegah dari maksiat kepadaNya

6.       Allah Ingin Semua Mukmin Masuk Surga

Dihitungnya niat kebaikan kita dengan 1 pahala, lalu jika dikerjakan bisa sampai 700 kali lipat. Sementara itu, niat dosa kita tidak dihitung, tapi jika dikerjakan hanya dihitung sebagai satu keburukan. Secara logika sederhana, jelas terbukti bahwa Allah ingin hamba-hambaNya itu masuk surga semuanya

7.      Sesungguhnya rahmat Allah terhadap hambaNya sangatlah luas, pun demikian dengan pengampinanNya yang mencakup segala dosa, dan pemberianNya tidak ada habisnya

8.     Ikhlas dalam ketaatan dan dalam rangka meninggalkan maksiat adalah kunci untuk mendapatkan pahala. Semakin tinggi ikhlas, semakin bertambah pahala.

Wallahu ‘alam....

Rangkuman Tatsqif #2 “Beriman kepada kewajiban mencintai sahabat-sahabat Rasulullah SAW”







“Beriman kepada kewajiban mencintai sahabat-sahabat Rasulullah SAW”
(Pemateri : Ust. Fadlan Mustiqa, Lc)

Sahabat ialah mereka yang sempat bertemu, menyaksikan ataupun mendengar (bagi orang buta) Rasulullah SAW dalam keadaan Islam, dan merekapun dalam keadaan Islam sampai wafat mereka.

Orang muslim beriman kepada kewajiban mencintai sahabat-sahabat Rasulullah, keluarga beliau, keutamaan mereka atas kaum mukminin dan kaum muslimin yang lain, bahwa keutamaan mereka berbeda antara satu dengan yang lainnya, dan bahwa ketinggian derajat mereka ditentukan oleh siapa diantara mereka yang paling dahulu masuk Islam.

Berdasarka urutannya, sahabat-sahabat Rasulullah yang paling utama ialah

Khulafaur Rasyidin, yaitu:

1.       Abu Bakar Ash-shiddiq

2.       Umar ibn Al-Khattab

3.       Utsman ibn Affan

4.       Alin ibn Abi Thalib

Kemudian disusul oleh Assabiqunal Awwalun, yaitu:

1.       Khulafaur Rasyidin

2.       Thalhah ibn Ubaidillah

3.       Az-zubair ibn Al-awwam

4.       Sa’ad ibn Abu Waqqash

5.       Sa’id ibn Zaid

6.       Abu Ubaidah Amir ibn Al-jarrah

7.       Abdurrahman ibn Auf

Kemudian disusul para sahabat yang ikut Perang Badar, kemudian disusul orang-orang yang dijamin masuk surga selain  Assabiqunal Awwalun diatas, misalnya Fatimah Az-zahra’, Hasan ibn Ali, Husain ibn Ali, Tsabit ibn Qais, Bilal ibn Rabah, dll. Kemudian disusul para sahabat yang ikut menghadiri Baiat Ar-Ridhwan yang berjumlah 1400 sahabat Radhiyallahu Anhum.

Terhadap sahabat-sahabat Rasulullah SAW dan keluarga beliau, maka orang Muslim:

1.       Mencintai mereka, karena kecintaan Allah & Rasul kepada mereka (Al-Maidah:54)

2.       Beriman kepada keutamaan mereka atas kaum Mukminin dan Muslimin yang lain

3.       Berpendapat bahwa Abu Bakar adalah sahabat yang paling utama, disusul Umar, Utsman dan Ali

4.       Mengakui kelebihan-kelebihan mereka

5.    Menahan diri dari mengungkap keburukan mereka dan tidak berkomentar tentang persengketaan yang terjadi pada mereka

6.   Beriman kepada kehormatan istri-istri Rasulullah SAW, bahwa mereka wanita-wanita suci bersih, mencari keridhaan mereka, dan berpendapat bahwa istri-istri beliau yang termulia ialah Khadijah binti Khuwailid, dan Aisyah binti Abu Bakar (Al-Ahzab:6)